Minggu, 11 Desember 2011

Sebuah kekesalan pada Negeri -yang katanya- Demokrasi (Penulis : Imaduddin Arifin )

dipancung.. bayangkan mati dalam satu tarikan napas
dengan kepala berpisah dengan badan.. kata mereka itu mati dengan terhormat.. cih, senobel apapun disebutnya. mati itu ya
mati. akan ada mereka yang ditinggalkan.
akan ada mereka yang berubah nasib. akan
ada mereka yang menangis. akan ada mereka
yang menggantungkan hidupnya pada "yang
dipancung" itu terancam putus sekolah, hilang masa depannya. salah siapa ? bahkan kambing pun sudah enggan
mempermasalahkan ini salah siapa ? siapa pun yang salah, tak ada yang pernah
mau menebus salahnya. dipancung.. bayangkan anak yang ditinggaalkan. yang
tumbuh dengan ejekan "anak pancung". ah,
aku ingin lupa. aku ingin lupa kalau aku
generasi penerus bangsa ini. apa yang bisa
kuubah. caci maki yang menggerogoti istana.
apa yang bisa kuubah. pekerjaan yang menggigit wanita desa. apa yang bisa kuubah.
pendidikan yang memilih yang dididiknya. apa
yang bisa kuubah. para hedonis yang manja. dipancung.. coba kau bayangkan mati dengan cara itu ? disaat para sosialita menghabiskan uang
jajannya untuk sekedar beli taplak meja
makan buat anjingnya. ada ratusan anak
buangan di belakang rumahnya butuh
sekolah. butuh dididik buat cari makan. di saat para hedonis berjalan-jalan dengan
mobil sport mewahnya. ada ribuan anak-anak
jalanan di pinggir perempatan butuh
perhatian. TAPI KITA TAK ACUH. budaya bodoh yang dipelihara seperti
memelihara anjing yang terlalu jinak. ah, aku ingin lupa. lupa kalau aku anak
bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar